»
»
»Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-40: Antara Pencitraan & Kebohongan dalam Jagat Pewayangan dan Panggung Politik

Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-40: Antara Pencitraan & Kebohongan dalam Jagat Pewayangan dan Panggung Politik

DALAM jagat pewayangan selalu penuh simbolisasi yang abstrak: “sebuah substansi ide tentang manusia”. Konon, dalam Epos Bharatayuda, Yudhistira menolak berbohong. Tapi oleh bujukan Sri Kresna, ia bersedia –meski penuh ragu—untuk mengatakan dengan suara dipelankan atas kematian gajah Estitama biar terkesan seperti Aswatama, putra tersayang Resi Dorna, yang mati.

          Tetapi lihatlah, sementara ia mengucapkan kalimat itu, serta-merta putuslah as roda kereta yang dinaikinya. Melalui pertanda ini, kita menangkap ide: “manusia itu sejatinya tidak boleh berbohong”. Meski ucapan itu memiliki dua arti, juga tetap merupakan kebohongan (Driyarkara, Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, 2006).

Dusta Itu...”
Selain itu, dalam cerpen “Dusta Itu...”, Yanusa Nugroho, penulisnya, mengakhirinya dengan kekecewaan Dorna. Sambil menangis, Dorna mengatakan, “Bukan kematian Aswatama yang kutangisi, tapi dusta yang baru saja kau ucapkan, yang kusesali. Apa lagi yang dapat kuperoleh di dunia ini, manakala kejujuran telah melahirkan dusta?” (A. Barata, 18 Oktober 2008).

Berbohong adalah tindakan manusia yang manusiawi. Kebohongan tumbuh seiring dengan kemampuannya berbahasa. Dengan berbohong manusia berhasil mendapatkan sebagian besar yang dihasratkannya. Daripada selalu berkata jujur, kemuliaan dan kenikmatan hidup sulit diraihnya. Kendati berbohong dan menipu disadari sebagai perbuatan tidak terpuji, namun sebagian besar orang pernah, bahkan senang melakukannya. Memang, tidak ada manusia yang sepanjang hidupnya steril dari kebohongan. Yudhistira pun yang dikenal paling jujur dalam epos Mahabharata, juga harus berbohong untuk membantu memenangkan Bharatayudha.
Politik Pencitraan
Politik pencitraan (imagology politics) memang sangat menonjolkan “tampilan luar”, yaitu gaya berpidato, ekspresi emosional, pandai bersandiwara, dan pintar membeberkan angka-angka fantastis. Ketika sedang berpidato di depan publik, penampilannya seperti pemain sinetron yang pintar mengundang air mata penonton, atau “tukang jual obat” yang pintar menipu calon pembeli. Politik pencitraan  telah melekat pada diri para politisi kita saat ini. Pencitraan di sini adalah pola kampanye yang hanya mengandalkan kampanye udara tanpa pernah menjejakkan kaki ke tanah.

Padahal, konsep politik yang bermoral mengajarkan untuk menghindar dari kebohongan. Politik memang sering merupakan pesta janji. Ketika janji itu sulit ditepati, politik kebohonganlah untuk menutupinya. Politikus mencari alat-alat pembenaran untuk membingkai kebohongannya, agar terkesan menepati janjinya. Inilah teori politik pencitraan yang keliru.

Namun, terkadang, kita berjanji tidak mengukur kemampuan, karena janji kita berpamrih. Banyak politisi berjanji karena ingin dipilih, sehingga janjinya muluk-muluk, terkadang tidak realistis. Menjaga citra, dalam budaya Jawa disebut “jaga praja”, yang biasanya menimbulkan kondisi yang “lebih besar pasak daripada tiang”. Bagi politisi, ingkar janji tidak hanya dosa, tetapi melorotkan citra. Ketepatan janji adalah salah satu strategi politik pencitraan yang seharusnya. Namun, untuk memenuhi strategi itu, terkadang bohong dilakukan. Padahal politik pembohongan kontraproduktif terhadap politik pencitraan.

Pendek kata, karena politik pencitraan hanya menonjolkan tampilan luar, maka dengan mudah akan tersingkap. Selain hukum waktu yang akan berbicara, hembusan angin kritis dari rakyatlah yang akan menyingkapnya. Karenanya, selain harus memiliki ingatan yang kuat, pembohong juga mesti cerdas.

Political Marketing
Di ”Era Imaging” ini, tidak lagi cukup dengan simbol-simbol fisik, baju batik yang modis, potongan rambut yang rapi, netbook atau ipad mungil model mutakhir yang digunakan untuk membangun image, melainkan harus dilengkapi dengan kamera televisi, event dan content. Semua calon Presiden AS selalu menggunakan political marketing secara cerdik.

Di Indonesia, pemasaran politik adalah bidang baru yang unik dan menarik minat. Yang dipasarkan bisa saja barang busuk yang tidak dicari orang (unsought goods), layaknya pepatah Jawa “wingka katon kencana”, atau “yang tampak lebih indah dari aselinya”. Karena semua yang busuk memang dapat dikemas lewat iklan dan dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Namun sekarang kita juga berada pada “Era Learning”, suatu era di mana kita dengan mudah mempelajari tokoh-tokoh dan track record mereka. Pemasaran politik tidak sama dengan periklanan politik, karena pemasaran politik tidak bisa dijalankan tanpa memeriksa kembali produk yang akan ditawarkan kepada voters market. Dengan kata lain, pemasaran politik akan me-review banyak hal, mulai dari sikap, kinerja, sampai platform dan konsep yang ditawarkan. Produk ini tidak boleh banyak cacatnya, maka harus ada quality control dan umpan balik dari pasar lewat regular polling.

Fungsi pemasaran politik tidak hanya berhenti pada saat memenangkan Pemilu, melainkan jalan terus agar dukungan publik tidak terputus dan kelak mau memilihnya lagi. Seharusnya pemasaran politik punya cita-cita mulia, menjanjikan “produk politik” yang segar, bermanfaat, dan disukai, merubah sikap pemimpin agar sesuai kehendak publik, seperti halnya yang dilakukan Margareth Thatcher. Sebelum memasuki pertarungan Pemilu, khalayak dan jurnalis mengenal Thatcher sebagai sosok perempuan keras, reaksioner, dan penuh kemewahan. Dia sendiri adalah istri seorang jutawan. Dialah yang mencabut kebiasaan susu gratis untuk anak-anak Sekolah Dasar.

Di tangan seorang produser TV terkenal, Gordon Reece, Thatcher mulai diubah menjadi seorang yang berbicara lembut, aksen bicaranya sangat teratur, hingga akhirnya terpilih menjadi pemimpin kharismatik Partai Konservatif. Atas nasihat Reece, dia mulai mengubah potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan sarung tangan, dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suaranya. Akhirnya rakyat Inggris memilih Margareth Thatcher, sang ibu rumah tangga superstar, menjadi Perdana Menteri pada 4 Mei 1979 (matanews.com, 28 Januari 2011).

Jelas politik pencitraan yang sesungguhnya bukanlah propaganda perang yang menakutkan, atau memanipulasi publik, seperti pembohong kaliber dunia Joseph Goebbels, Menteri Komunikasi dan Propaganda NAZI Jerman, yang mengatakan: “If you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it“ --“Jika kau mengatakan kebohongan besar dan terus mengulang-ulanginya, maka pada akhirnya orang-orang pun akan mempercayai kebohongan itu” (Venomaxus Indonesia, 10 Januari 2011). Tapi kebohongan, tetaplah kebohongan. Seberapa pun cepat kebohongan menyebar, kebenaran akan tetap menang karena memiliki daya tahan yang lebih lama (Radhar Panca Dahana, Kompas, 18 Januari 2011).

Simbolisme Wayang
Manusia tidak dapat dipisahkan dari simbol. Wayang adalah simbol, mulai dari tokoh, adegan dan lakon termasuk peralatan pentas (kelir, blencong, dsb.), pembabakan waktu dan deretan wayang di sisi kiri-kanan kelir. Jagat pewayangan menarik untuk dicermati dan dijadikan latar belakang kehidupan.
Tidak hanya bagi masyarakat Jawa, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Hal ini karena dunia pewayangan bersifat universal. Sesungguhnya kita bisa becermin dari lakon yang ada dalam jagat pewayangan. Karena dunia wayang tidak berbeda dengan keadaan di alam mayapada ini: Ada keteraturan alam yang ditimbulkan oleh dua sifat manusia, yaitu baik dan buruk.

Dalam wayang kita ditawari kemungkinan-kemungkinan hidup manusia. “Kemungkinan” bukan “kepastian”! Wayang membangun sebuah filosofi yang paling manusiawi: “ia mengijinkan kita untuk menyaksikan pilihan-pilihan tanpa memaksa kita ke satu arah”, kata Magnis-Suseno (Wayang dan Panggilan Manusia, 1991). Filsafat wayang adalah filsafat yang kompleks, karena ia adalah filsafat moral yang konkrit. Pada prinsipnya, wayang menawarkan jawaban yang simpel tentang hidup.

Jagat pewayangan tidak ada yang benar-benar hitam, dan tidak ada pula yang benar-benar putih. Yang ada hanya bentangan panjang abu-abu --warna antara hitam dan putih. Wayang tidaklah menggambarkan kejahatan dan kebaikan secara hitam putih. Semua konflik itu beralasan, dan orang dipersilakan menilai sendiri, meski akhirnya kebenaran selalu memperoleh jalannya. Seperti halnya hidup itu sendiri.

Alhasil, wayang lebih dari sekadar beberan lukisan dalam Wayang Beber, nukilan kayu di atas Wayang Golek, hamparan warna di atas Wayang Kulit, hingga keindahan gerak dalam Wayang Orang. Ia bukan Cuma mahakarya seni yang dibawa para Wali di abad ke 17. Wayang adalah sebuah mahakarya nilai (value) bagi manusia Indonesia yang diakui sebagai Warisan Budaya Dunia.

Semar yang Samar
Boleh dikatakan karakteristik sosok Semar mewakili sifat-sifat pengabdian, ketulusan dan kejujuran. Konon, diceritakan Semar menghilang pergi dari Klampis Ireng, “Rumah Kejujuran”. Apa jadinya Klampis Ireng tanpa Semar? Apa jadinya para Pandawa tanpa Semar? Maka Arjuna, Gatotkaca, Abimanyu, Anoman, dan rakyat pun ikut mencari Semar. Mendengar kabar Semar menghilang, Kurawa pun sibuk mencari Semar. Mereka ingin memiliki Semar. Karena, manakala mereka dapat memiliki Semar, kekuatan apa lagi yang masih ada pada Pandawa?

Dan, mereka pun mendapatkan Semar. Arjuna mendapatkan Semar, Anoman mendapatkan Semar, Kurawa juga mendapatkan Semar. Tetapi, Semar yang mereka dapatkan bukan Semar sejati, bukan Sang Hyang Ismayajati. Mereka memang mendapatkan wadag Semar. Akan tetapi sebenarnya wadag itu tanpa roh Semar. Yang mereka dapatkan Semar-Semar samar. Roh Semar telah menghilang pergi, hanyut dalam kesedihan di Bukit Puspa Arga. Raga Semar kini dihuni oleh roh-roh kebohongan. Roh Semar pun menangis.
Semar Mendem
Dunia kehidupan sosial kita adalah dunia Klampis Ireng: ditinggalkan Semar, kejujuran, namun penuh dengan Semar-Semar samar penuh kebohongan. Yang ada kini Semar-Semar yang telah terinflasi: Semar Mendem. Semar yang mabuk kekuasaan dan kenikmatan. Semar mendem ada di mana-mana. Maka orang tak lagi peduli dengan Semar sejati. Tak ada lagi yang mencari Semar. Semar sejati tinggal menjadi simbol dan retorika kekuasaan.

Semua puas dengan membuat patung Semar, wayang Semar, kisah Semar dan jimat Semar, atau Super-Semar. Hanya wong cilik saja, seperti sosok penjaja barang kelilingan Tarmudi, tokoh “marhaen”-nya Buya Syafii (Kompas, 15 Januari 2011), yang tak memiliki jimat Semar, dan masih terus mencari Semar. Mereka, meski dengan suara lirih, terus memanggil-manggil Semar. “Semar, di manakah engkau?

Para wong cilik itu masih percaya, meski samar, Semar masih ada di Klampis Ireng. Sesungguhnya, Semar memang tidak pergi dari Klampis Ireng. Ia masih ada, namun Semar hidup tersembunyi. Sebab bila tidak, Semar-Semar Mendem akan menangkap dan memperalatnya, supaya menjadi topeng wajah kebohongan mereka. Meski hidup tersembunyi, namun Semar senantiasa ingat kata-kata Sang Hyang Tunggal, supaya ia terus mencari raga. Maka, ia pun terus mencari raga, ia ingin menjadi roh yang berraga.

          Semar tahu, sangatlah sulit mendapatkan raga yang bersedia meragakan jatidirinya. Sebab meragakan jatidirinya, sama artinya dengan menjalani hidup dalam keberanian mencintai kerasnya pergulatan hidup (Sindunata, Semar Mencari Raga, 1996). Raga seorang pemimpin yang berani menderita, asalkan rakyatnya tidak menderita.

Dialog Budaya & Gelar Seni
Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-40 ini akan diawali fragmen Wayang Kulit Ringkes dengan dalang Ki Suparman, guru seni pedalangan, dipimpin oleh Drs. Sunardi, Kepala Sekolah SMKN-1 (d/h. SMKI) Bugisan, Bantul, dalam episode “Yudhistira Berbohong”. Substansi lakon ini akan dicari kegayutannya oleh para narasumber dengan kebohongan publik dan pencitraan politik dalam topik: ”Antara Pencitraan dan Kebohongan dalam Jagat Pewayangan dan Panggung Politik”.

Narasumber Dialog Budaya adalah mereka yang amat kompeten dalam bidangnya masing-masing, yakni Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Mochammad Maksum, Pengamat Sosial-Ekonomi Pedesaan, Pangan dan Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian-UGM, Drs. Kuskridho Ambardi, MA, PhD, Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol-UGM & Direktur Lembaga Survai Indonesia (LSI) Jakarta.
Dialog dipandu oleh Hari Dendi, Pengasuh “YogyaSemesta”. Gelar Seni selain di awal, juga di tengah dan diakhir forum diskusi diselingi rangkaian fragmentasi “Aneka Kebohongan Wayang” oleh dalang Ki Gunawan,  juga guru seni pedalangan SMKN-1, dengan cerita hilangnya kejujuran dari mayapada yang disimbolkan oleh hilangnya Ki Badranaya dari Padepokan Klampis Ireng, ditandai lakon Semar-Samar dan Semar Mendem (kekuasaan). Diakhiri dengan Semar Gugat, ketika Semar sebagai pemangku kejujuran menggugat Bathara Guru beserta para Dewa di Kayangan Jonggring Salaka, karena mereka melakukan politik pembiaran terhadap pencurian kejujuran oleh para pemimpin pembohong di mayapada.

Digelar secara lesehan, Selasa malam, 15 Februari 2011 jam 18:30-22:00 di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, diawali santap malam kuliner rakyat dari Angkringan Kejujuran, dan terbuka untuk umum.


Yogyakarta, 1 Februari 2011

Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,



Hari Dendi
Pengasuh
"Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-40: Antara Pencitraan & Kebohongan dalam Jagat Pewayangan dan Panggung Politik" was posted by: World Spy blogs, under category dialog budaya and permalinks https://world-spy.blogspot.com/2011/03/dialog-budaya-gelar-seni-yogyasemesta.html. Ratings: 1010 Votings: 97,687, Tuesday, March 15, 2011, 2:29 AM.

Comments :

 
© 2012 World Spy
Is Hosted by Blogger